Kasus Korupsi Lukas Enembe
KASUS korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe adalah buah kekacauan cara pandang pemerintah pusat terhadap Papua. Jakarta selalu ingin mengendalikan provinsi tersebut dengan mencari pemimpin lokal yang bisa dikontrol. Hasilnya, kepala daerah terpilih bukan hanya tak kompeten, tapi juga korup dan tamak.
Lukas sejauh ini diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 1 miliar. Namun, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan aktivitas tak wajar di rekening Lukas dengan nilai yang jauh lebih besar. Duit lebih dari setengah triliun rupiah diduga mengalir ke rumah judi dan dipakai membeli barang-barang mewah. Transaksi jumbo itu tak sesuai dengan profil kekayaan Lukas yang hanya Rp 33,7 miliar.
Di Papua, tak hanya Lukas yang terseret perkara rasuah. Komisi Pemberantasan Korupsi juga menetapkan Bupati Membramo Tengah Ricky Ham Pagawak dan Bupati
Mimika Eltinus Omaleng sebagai tersangka korupsi pada dua pekan lalu.
Sebelumnya, Bupati Membramo Raya Dorinus Dasinapa menjadi tersangka
penyalahgunaan dana Covid-19 serta Bupati Biak Numfor Yesaya Sombuk digulung
KPK soal suap di Kementerian Desa.
Kombinasi kepala daerah dan birokrasi yang korup serta pendekatan kekerasan
untuk mengontrol Papua merupakan salah satu penyebab wilayah di timur
Indonesia ini masih sengsara. Pada 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi
membuat survei untuk mengukur integritas 6 lembaga dan 30 pemerintah daerah.
Hasil survei menunjukkan pemerintah Papua menduduki rangking 30 dengan
indeks integritas 52,91 dari skala 100.
Korupsi merajalela bukan saja akibat kualitas dan integritas pegawai daerah
yang buruk. Minimnya transparansi dalam pemerintahan daerah di Papua turut
memperburuk keadaan. Padahal, Jakarta sudah mengucurkan dana otonomi khusus
ke Papua dan Papua Barat sebesar Rp 86,4 triliun sepan-jang 2002-2019.
Dana otonomi khusus itu gagal membantu Papua mengejar ketertinggalan dari
provinsi lain. Indeks Pembangunan Manusia Papua konsisten berada di urutan
paling buncit dari 34 provinsi di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
Anehnya, berdasarkan kajian mutakhir Badan Pemeriksa Keuangan, dana otonomi khusus dicairkan setiap tahun kendati ada penyimpangan. Tak hanya pengawasan oleh pemerintah pusat yang kendor. Peran masyarakat sipil untuk mengawasi akuntabilitas pemerintah daerahnya pun nyaris tak ada.
Tanpa kontrol yang ketat, dana otonomi khusus hanya akan disalahgunakan
elite yang korup di Papua untuk kepentingan politik atau pribadi. Dengan
kata lain, manajemen anggaran yang seram-pangan hanya akan memperkaya para
politikus busuk itu.
Di tangan KPK yang telah dirusak dan dilemahkan, kita sulit berharap kasus
Lukas dan korupsi kepala daerah lain di Papua akan terungkap hingga
benderang. Dalam kasus korupsi Lukas saja, masih banyak hal yang belum
terjawab. KPK belum mengungkap modus operandi politikus Partai Demokrat
tersebut. Komisi juga kerepotan memeriksa Lukas di Papua. Tapi, komisi sudah
menetapkan status tersangka tanpa adanya keterangan dari Lukas.
Pekerjaan rumah KPK berikutnya adalah membongkar dugaan pencucian uang
hasil korupsi dana otonomi khusus secara tuntas dan transparan. Tanpa
keterbukaan, pengusutan Lukas Enembe dan kawan-kawan akan mudah dituduh
politis.
Copas dari https://kolom.tempo.co/read/1638342/dosa-jakarta-di-kasus-korupsi-lukas-enembe
No comments:
Post a Comment